Rabu, 19 Oktober 2016

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

BAB I 
KONSEP MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

1.1 Pendahuluan
       Manajemen berbasis sekolah pada intinya adalah memberikan kewenangan terhadap sekolah untuk melakukan pengelolaan dan perbaikan kualitas secara terus menerus. Dapat juga dikatakan bahwa manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
       Tujuan MBS adalah untuk mewujudkan kemerdekaan pemerintah daerah dalam mengelola pendidikan. Dengan demikian peran pemerintah pusat akan berkurang. Sekolah diberi hak otonom untuk menentukan nasibnya sendiri. Paling tidak ada tiga tujuan dilaksanakannya MBS yaitu peningkatan efesiensi, peningkatan mutu, peningkatan pemerataan pendidikan.
       Dengan adanya MBS diharapkan akan memberi peluang dan kesempatan kepada kepala sekolah, guru dan siswa untuk melakukan inovasi pendidikan. Dengan adanya MBS maka ada beberapa keuntungan dalam pendidikan, yaitu: kebijakan dan kewenangan sekolah mengarah langsung kepada siswa, orang tua dan guru, sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal, pembinaan peserta didik dapat dilakukan secara efektif, dapat mengajak semua pihak untuk memajukan dan meningkatkan pelaksanaan pendidikan.

1.2 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
       Kebijakan ini berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23/2006 tentang standar kompetensi lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Peraturan Menteri No. 22/2006 tentang standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Pada tahun 2010 seluruh sekolah sudah harus melaksanakan KTSP. Pelaksanaan KTSP secara penuh diharapkan mulai tahun ajaran 2007.
       Permendiknas KTSP ditandatangani pada 23 Mei 2006 dan berlaku bagi sekolah standar nasional berstandar internasional. Perlu dijelaskan bahwasanya standar pendidikan tidak sama dengan kurikulum. Standar nasional itu meliputi delapan hal, yaitu: Standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
       Kini masing-masing sekolah bisa membuat silabus, kurikulum, dan indikator-indikatornya sendiri, bahkan kepala dinas tidak boleh ikut campur dalam pengembangan KTSP sekolah. Beberapa ciri terpenting dari KTSP adalah sebagai berikut:
       Pertama, KTSP menganut prinsip fleksibilitas. Setiap sekolah diberi kebebasan menambah empat jam pelajaran tambahan per minggu, yang bisa diisi dengan apa saja baik yang wajib atau muatan lokal. Namun fleksibilitas ini harus diimbangi dengan potensi sekolah masing-masing serta pemenuhan standar isi seperti digariskan Badan Standarnisasi Nasional Pendidikan (BSNP). Standar adalah kualitas minimum yang mesti dicapai. Sementara itu, potensi adalah tersedianya SDM dan prasarana + sarana yang memadai untuk menyelenggarakan pelajaran tambahan itu. 
       Kedua, KTSP membutuhkan pemahaman dan keinginan sekolah untuk mengubah kebiasaan lama yakni kebergantungan kepada birokrat. Peluang bagi sekolah untuk mengurus sendiri tidak hanya untuk manajemen sekolah, tetapi juga rutinitas akademis. Ini perlu waktu lama, karena selama ini sekolah terbiasa diatur oleh pemerintah. KTSP dikembangkan melalui beberapa hal, antara lain sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, kondisi sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik. 
       Ketiga, guru kreatif dan siswa aktif. Kurikulum 1994 menghendaki guru lebih kreatif, namun aktivitas guru sebatas mengajarkan apa yang sudah ditetapkan dalam kurikulum. Sementara dalam kurikulum 2004 atau kurikulum berbasis kompetensi (KBK), siswa dituntut lebih kreatif. Guru harus bisa “memaksa” siswa untuk memberi feedback dalam setiap pembelajaran. KTSP menggabungkan keduanya. Wajar jika mereka belum sempat melaksanakan KBK mendapat kesulitan dalam melaksanakan KTSP.
       Keempat, KTSP dikembangkan dengan menganut prinsip diversifikasi. Artinya: dalam kurikulum ini standar isi dan standar kompetensi lulusan yang dibuat BSNP itu dijabarkan dengan memasukan muatan lokal, yakni lokal Provinsi, lokal Kabupaten/Kota, dan lokal sekolah. Dengan demikian, sekolah akan berperan sebagai makelar kearifan lokal. Kegagalan kurikulum selama ini antara lain karena penyeragaman dari sabang sampai Merauke, padahal masing-masing daerah berbeda potensinya, sehingga kurikulum nasional tidak operasional. Dengan kata lain, melalui KTSP diharapkan adanya keseimbangan antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. 
       Kelima, KTSP sejalan dengan konsep desentralisasi pendidikan dan manajemen berbasis sekolah (school-based management). Komite sekolah kini harus bersama guru dalam mengembangkan kurikulum. Selama ini guru patuh pada petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan yang disiapkan oleh birokrat Depdiknas. Sekolah dapat bermitra dengan berbagai pemangku peran (stakeholders) pendidikan, seperti industri, kerajinan, parawisata, petani, nelayan, dan organisasi atau profesi lainnya. Para pemangku peran ini lazimnya lebih merasakan tantangan dunia sekitar yang memerlukan respon kurikuler.
       Keenam, KTSP tanggap terhadap perkembangan iptek dan seni. Inilah tantangan abad sekarang ini. Tanpa antisipasi cerdas terhadap perkara ini, kurikulum menjadi lunglai menghadapi teknologi yang serba canggih ini. Walhasil, KTSP berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungan, relevan dengan kebutuhan dan kehidupan, menyeluruh dan berkesinambungan, dan mestinya sejalan dengan prinsip belajar sepanjang hayat.
       Ketujuh, KTSP beragam dan terpadu. Walaupun sekolah diberi otonomi dalam pengembangannya, ujung-ujungnya ada ujian nasional (UN) juga. Seyogyanya tidak ada persoalan bagi sekolah karena yang diujikan adalah kompetensi dasar. Dalam semangat desentralisasi pendidikan, UN penting bagi pemetaan kemampuan, bukan penentu kelulusan siswa. Biarkan sekolah menentukan kriteria kelulusan masing-masing, yakni dengan menggabungkan hasil UN dengan ujian sekolah masing-masing. Perlu ditegaskan bahwa ada sejumlah fungsi UN, antara lain: (1) Diagnosis, yakni untuk mengetahui penyakit yang diderita oleh anak didik untuk menentukan resep yang paling mujarab; (2) Diferensiasi, yakni membedaa-bedakan kelompok siswa demi penentuan kebijakan yang layak ditempuh, dan (3) Uji kompetensi, yakni untuk mengetahui sejauh mana materi ajar dikuasai siswa.
       Fungsi pertama dan kedua selama ini belum betul-betul dilaksanakan dalam penyelenggaraan UN, sehingga selama ini belum jelas langkah korektif pemerintah sebagai respon terhadap hasil UN, yang sangat beragam dari kota ke kota, bahkan dari sekolah ke sekolah. Niat pemerintah lewat BSNP memang luhur dan cerdas, namun berdasarkan kenyataan di lapangan, tidaklah mudah untuk memberdayakan para guru lewat KTSP ini. Ada anggapan bahwa apapun kurikulumnya, selama guru, sekolah, dan pengembang kurikulumnya berpikiran tradisional, kurikulum itu tidak akan berdampak besar.
Pengembang kurikulum menggonggong, guru-guru berlalu dengan kulturnya. Aliran konstruktif menawarkan solusi untuk menyulap suasana belajar secara “berani” dan mendobrak kejumudan kurikulum lewat tujuh ayat pendidikan sebagai berikut:
1. Kurikulum disajikan secara utuh, yakni menekankan konsep besar, lalu diikuti konsep-konsep kecil. Artinya, guru berpegang pada tujuan instruksional umum atau TIU, dan tidak terjebak oleh hal-hal kecil, atau keterampilan-keterampilan dasar, atau tujuan instruksional khusus atau TIK. Dalam konstek KTSP, pemahaman guru akan standar kompetensi dan standar isi adalah sebuah niscaya. 
2. Kegiatan kurikuler mengandalkan sumber-sumber data primer dan juga materi-materi buatan yang bermakna. Alam sekitar adalah data-data primer yang memiliki potensi dibermaknakan. Dengan begitu, buku teks tidak lagi menjadi sumber utama sebagaimana terbiasa pada kurikulum tradisional. Jadi wajar, jika KTSP tidak mensyaratkan adanya buku teks baru. Singkatnya, untuk KTSP, bukunya yang ada saja.
3. Siswa diperlakukan sebagai “pemikir” muda yang belajar merumuskan teorinya sendiri ihwal dunia (materi ajar). Keberanian siswa untuk bertanya dan berdebat adalah indikator keberhasilan belajar. Ini berbeda dengan kelas tradisional yang cenderung menempatkan siswa sebagai “botol kosong” untuk diisi informasi oleh guru.
4. Guru mengajar secara interaktif, yakni antara lain dengan kepandaian menterjemahkan lingkungan sekitar hingga dapat dipahami siswa. Ini berbeda dengan guru tradisional yang cenderung berlagak didaktik dalam menyebarkan informasi kepada siswa. Kebiasaan guru untuk mengejar target kurikulum sesuai dengan GBPP jelas tidak sejalan dengan prinsip konstruktif, sebab sebuah informasi belum tentu materi ajar yang bermakna (meaningful) dan terajarkan (teachable).
5. Guru mencari tahu sudut pandang siswa untuk memahami kadar pengetahuan siswa saat ini untuk dijadikan pijakan bagi pelajaran yang akan datang. Ini berbeda dari kelas tradisional, dimana guru mencari jawaban yang benar untuk memvalidasi pembelajaran siswa. Pembelajaran konstruktivis membangun ketersambungan pelajaran sebelumnya dengan pelajaran selanjutnya. Dan ini hanya mungkin jika guru mengetahui sudut pandang siswa. 
6. Siswa bekerja dalam kelompok. Ini berbeda dari kelas-kelas tradisional dimana siswa belajar secara mandiri. Justru dalam kelompoklah mereka bersosialisasi dan berkolaborasi, sehingga secara kolektif memperoleh pencerahan lewat social reconstructivism. Bila siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil, guru dan pengembang kurikulum pun berkolaborasi dengan para pemangku peran dalam merumuskan KTSP. Jadi, siswa, guru, bahkan manajemen sekolah mengamalkan ajaran social reconstructivism.
7. Penilaian pembelajaran siswa dilakukan secara terintegrasi dalam pengajaran dan dilakukan lewat observasi guru terhadap proses belajar siswa dalam kelompoknya dan mencermati fortofolio siswa. Mekanisme ini berbeda dengan pendidikan tradisional yang memisahkan penilaian dari pembelajaran,dan terlembaga secara formal lewat tes. Dengan demikian, keberadaan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa memang tidak relevan dengan semangat konstruktif.
       Dari paparan tersebut jelaslah bahwa otonomi pendidikan, kemudian desentralisasi merupakan “embrio” untuk menuju otonomi pendidikan itu sendiri, embrio tersebut nantinya akan terjabar dalam konsep manajemen berbasis sekolah dan manajemen berbasis masyarakat, tidak itu “embrio” otonomi. 
       Desentralisasi akan menjadi “bayi” yang disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Dengan demikian KTSP merupakaan akhir wujud dari desentralisasi pendidikan, dimana sekolah mempunyai wewenang yang besar dalam mengolah, mengelola dan memajukan sekolahnya sendiri. Sedangkan pemerintah tidak lagi banyak ikut campur dalam urusan pendidikan di setiap daerah Kabupaten dan kota.