Jumat, 07 Oktober 2016

Seni Budaya Tarawangsa

Lembar Pengesahan:

Laporan Makalah “Seni Budaya Tarawangsa
Disusun Oleh:
Nama: Asep Herdiana
NPM :  0821039293

Berdasarkan hasil bimbingan oleh dosen pembimbing sejak tanggal 28 Oktober s/d 11 November 2011.
Disetujui oleh:
Dosen pembimbing, Anda Rukanda, S.Pd., M.Si.
Tanggal, 11 November 2011


Kata Pengantar

       Kami panjatkan puji daan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan karya tulis tentang “Seni Budaya Tarawangsa”, dan harapan kami semoga karya tulis ini dapat menambah wawasan atau pengetahuan bagi para pembaca.
     Mengingat tidak semua masyarakat Sumedang (Jawa Barat) mengenal seni budaya tradisional tarawangsa atau jentreng. Maka dalam karya tulis ini kami uraikan dan jelaskan mengenai seni tradisional tersebut.  Ada istilah; “Tak kenal maka tak sayang”, selayaknya kita sebagai masyarakat Sumedang (Jawa Barat) mengenal dan melestarikan kesenian tradisional tarawangsa tersebut.
       Adapun ketidakberkembangannya, karena seni tarawangsa ini merupakan hal yang sangat sakral dan masih mengandung kuat unsur religius di dalamnya. Tapi bukan berarti tidak bisa dipelajari, siapapun boleh belajar memainkan tarawangsa. Kini di daerah Rancakalong, kesenian tarawangsa telah menjadi salah satu pelajaran muatan lokal, di berbagai tingkat sekolah. Sehingga sering dilaksanakan misalnya saat kenaikan kelas.
       Untuk memenuhi keperluan itu, kami menyusun karya tulis yang berjudul “Senu Budaya Tarawangsa”, berdasarkan referensi atau pengumpulan bahan-bahan materi dan informasi. Selain itu, kamipun melakukan survei dan observasi langsung ke obyek penelitian. Setiap uraian materi dan penjelasan kami sertakan gambar-gambar untuk memudahkan para pembaca atau pengguna.
       Jika dalam karya tulis ini masih ada kekurangan, kami mengharapkan kritik daan saran yang bersifat membangun dari rekan-rekan demi penyempurnaan karya tulis selanjutnya. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan karya tulis ini.
       Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan semuanya dan khususnya bagi para pembaca. Amin.

Hormat Kami
                                                                                                                                         Penyusun

Asep Herdiana

DAFTAR ISI

Halaman
Lembar Pengesahan …………………………………………………………................................ i
Kata Pengantar …………………………………………………………..............................……. ii
Daftar Isi …………………………………………………………………..............................….. iv
BAB I  PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………………………………………………............................................. 1
1.2 Sejarah Seni Budaya Tarawangsa ……………………...........................................…………. 2
BAB II  TARAWANGSA, SENI ORMATAN YANG TERLUPAKAN
2.1  Seni Ormatan ……………………………………….........................................…………… 5
2.2  Urutan Tata Upacara Ritual Tarawangsa ……………….............................................………
2.3  Musik Ritual Tarawangsa …………………………….............................................………..
2.4  Larut Dalam Tarawangsa …………………………...............................................………….
BAB III  AKUSTIK, ALAT MUSIK, KONSTRUKSI, TARAWANGSA
3.1  Alat Musik Atau Waditra ………………………………..............................................……
3.2  Aku, Mereka, Dan Musik Tarawangsa ………………….............................................……

BAB IV  PENUTUP
4.1  Kesimpulan …………………………………………..............................................………
4.2  Saran …………………………………………………...............................................…….
DAFTAR PUSTAKA
Sumber :  bloggemkara-asp-herdiana311.blogspot.com
Sesepuh:  Orang yang dianggap dituakan di Daerah Rancakalong



       BAB I  PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
       Di Indonesia kesenian tradisional selalu dikaitkan dengan kepentingan yang erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat dalam melangsungkan kehidupan sosialnya. Kesenian digunakan sebagai media penghubung antara manusia dengan kehidupan lain yang tidak dapat terindra oleh kasat mata atau hubungan manusia dengan Tuhan. Keberadaannya merupakan ungkapan keindahan yang dituangkan melalui karya seni, dalam rangka penghormatan atau rasa syukur pada makhluk halus “yang tidak tampak” atas keselarasannya dengan kehidupan manusia.
       “Makhluk halus yang dimaksud adalah adanya roh nenek moyang,” artinya selain meyakini adanya Tuhan mereka percaya akan adanya alam lain yang ditempati oleh roh nenek moyang. Hal ini dipengaruhi oleh keyakinan lama mereka, mengingat bahwa pada zaman dahulu masyarakat Indonesia adalah penganut animisme dan dinamisme. Maka kesenia dihubungkan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan suatu ritus tertentu, menggunakan kesenian yang sudah biasa mereka lakukan dalam kurun waktu yang cukup lama.
       Masyarakat sunda lama meyakini adanya roh leluhur (karuhun) yang senantiasa bergandengan dengan kehidupan manusia, bahkan pada zaman sekarang pun sebagian masyarakat tradisional masih meyakini hal tersebut. Biasanya mereka mengadakan hubungan dengan alam lain, melalui suatu ritus yang menggunakan musik sebagai mediator. Di daerah Rancakalong Kabupaten Sumedang, terdapat salah satu jenis kesenian yang masih digunakan untuk kepentingan upacara ritual. Kesenian tersebut adalah Tarawangsa.
       Masyarakat Rancakalong masih memegang tradisi adat dalam melangsungkan kehidupan sosialnya. Masyarakat setempat meyakini adanya makhluk halus yang senantiasa mempengaruhi kehidupan mereka, keberadaannya menduduki tempat yang penting, sehingga menjadi obyek penghormatan, do’a, sajian, dan sebagainya.
       Tarawangsa adalah alat atau waditra yang berbentuk seperti rebab dimainkan dengan cara digesek hanya satu dawai, sementara dawai yang satunya lagi dimainkan dengan cara dipetik oleh jari telunjuk. Tetapi pada saat ini orang yang bisa memainkan tarawangsa semakin berkurang, karena selain tingkat kesulitan dalam mempelajarinya, juga semakin kurang pula minat untuk mempelajarinya.
1.2 Sejarah Seni Budaya Tarawangsa
       Kesenian tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi kebudayaan yang hidup dalam masyarakat penyangganya. Sejak dahulu masyarakat sunda terkenal dengan budaya ngahuma atau berladang. Karena itu kesenian yang tumbuh di masyarakat sunda selalu terkait dengan mitos Dewi Sri. Begitu pula dengan kesenian jentreng atau lebih dikenal dengan sebutan tarawangsa.
       Seni jentreng atau tarawangsa adalah kesenian yang tumbuh dari pola kehidupan bertani masyarakat Rancakalong, Kabupaten Sumedang. Seni jentreng adalah upacara ritual yang berhubungan magis religius untuk menghormati Dewi Sri. Masyarakat Rancakalong menyebutnya dengan nama Kersa Nyai dengan tujuan supaya Kersa Nyai tetap tinggal dan betah di Rancakalong. Hal ini sesuai dengan kebiasaan masyarakat yang menempatkan seni jentreng sebagai media pokok dalam penyelenggaraan upacara Nyalin atau panen padi.
       Tidak diketahui dengan pasti kapan kesenian jentreng mulai hidup, namun asal mula kesenian jentreng menurut cerita yang beredar di masyarakat adalah; konon pada zaman dahulu, di Tatar Sunda tidak ada bibit padi. Sehingga masyarakat Sunda pada waktu itu tidak dapat mengkonsumsi beras untuk makan sehari-hari. Untuk memenuhi kebutuhan perutnya, mereka mengganti beras dengan biji hanjeli.
       Masyarakat sunda pada masa itu sering ngamen ke daerah-daerah lain. Mereka pergi ngamen sampai ke wilayah Mataram. Kemungkinan besar Mataram pada waktu itu adalah daerah penghasil beras yang terkemuka. Muncul keinginan pada si pengamen atau penabuh untuk mendapatkan bibit padi sehingga dapat ditanam di daerahnya. Keinginan tersebut mendorong si penabuh untuk membawa bibit padi dari Mataram untuk dibawa ke daerahnya. Namun usaha tersebut beberapa kali mengalami kegagalan karena diketahui oleh penjaga gerbang Mataram. Untuk ketiga kalinya penabuh mencoba membawa bibit padi dan disembunyikan dalam alat musik yang dibawanya, yaitu tarawangsa. Kali ini usahanya berhasil dan dia dapat menanam padi tersebut di tatar Sunda. Sejak saat itu Tatar Sunda menjadi salah satu penghasil beras yang utama.

       Untuk mengungkapkan rasa syukurnya, masyarakat sunda setiap selesai panen melakukan upacara ritual untuk menghormati Dewi Sri. Pada masyarakat Rancakalong, upacara itu disebut jentreng atau tarawangsa. Tarawangsa adalah instrumen gesek yang bentuknya mirip rebab, resinatornya terbuat dari kayu berleher panjang dan bersenar dua utas. Acara tersebut diisi dengan tari-tarian yang diiringi dengan petikan alat musik tarawangsa dan kecapi. Seni jentreng pun dipakai untuk memperingati hari-hari besar Islam. Sampai sekarang kesenian jentreng masih tetap hidup, meskipun tidak berkembang luas seperti tari pergaulan lainnya. Tetapi kesenian ini masih terpelihara, karena diwariskan secara turun-temurun oleh Saehu (pemimpin kelompok) kepada keturunannya. Adapun ketidakberkembangannya, karena kesenian ini tidak dapat dipelajari seperti jaipongan atau tari pergaulan karena masih kuat unsur religius di dalamnya.
       BAB II  TARAWANGSA, SENI ORMATAN YANG TERLUPAKAN
2.1  Seni Ormatan
       Tarawangsa awalnya digunakan dalam acara ormatan, hiburan para petani untuk merayakan syukuran panen. Ormatan maksudnya untuk menghormati syariat (para tamu), dan hakikat (para leluhur). Yang membuatnya para wali yang telah beragama Islam. Tarawangsa (Tatabeuhan Rakyat Wali Salapan). Dulu dirayakan saat menjelang ataupun setelah panen, kini dilaksanakan dalam berbagai perayaan mulai dari khitanan, syukuran rumah, hingga perayaan proklamasi kemerdekaan. Tarawangsa menggunakan dua kawat (kawatpun bekaspun jadi, tak perlu kawat yang bagus), yang maksudnya kehidupan manusia itu berpasangan, ada lelaki dan perempuan, ada baik dan buruk, ada umur pendek dan umur panjang, namun itu adalah kekuasaan Tuhan. Selain tarawangsa, dalam ormatan juga digunakan alat musik kecapi, memiliki kepanjangan (hiji kecap kudu neupi), artinya setiap ucapan atau amanat nenek moyang harus sampai ke anak cucu.
       Kecapi ini memiliki tujuh senar (kawat) yang maksudnya bahwa apapun pekerjaan manusia, dilalui dalam tujuh hari. Bila seluruh digabung jumlahnya ada sembilan, sama dengan jumlah wali penyebar agama Islam di tanah Jawa. Berbeda dengan kecapi lain pada umumnya yang memiliki senar lebih banyak, kecapi ini memiliki nada yang berbeda karena datang langsung secara ghaib. Selain untuk hiburan para petani, maksud dari pertunjukkan ormatan adalah bahwa agama Islam janganlah hanya sebagai pengakuan saja, namun harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
       Awalnya tarawangsa hanya ada di Rancakalong, namun setelah banyak masyarakat Rancakalong yang menyebar maka tarawangsa pun ikut menyebar. Selain di Rancakalong, Sumedang, tarawangsa bisa kita temukan di beberapa daerah lainnya di Jawa Barat. Diantaranya di daerah Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya Selatan), Banjaran (Bandung), dan Kanekes (Banten Selatan). Masyarakat sangat apresiatif pada kesenian tarawangsa ini, sebelum pelaksanaan pagelaran, bagi pemain yang memiliki maksud tertentu seperti untuk pengobatan, memerlukan ritual khusus. Dengan kata lain, tarawangsa harus dimandikan terlebih dahulu. Selain musik dari tarawangsa dan kecapi, dalam ormatan juga dilaksanakan tarian hormatan untuk para tamu dan leluhur dengan lelaki dan perempuan tampil secara bergantian. Hal ini mengandung makna bahwa keberhasilan dalam panen tidak akan terjadi tanpa kerjasama dari perempuan dan laki-laki.
          2.2   Urutan Tata Upacara Ritual Tarawangsa
       Tarawangsa, urutan prosesi dimulai dari jam: 19:30 hingga jam: 04:00 subuh. Prosesi diawali dengan: (a) Ngalungsurkeun (mengeluarkan bibit padi), Ngalungsurkeun mengandung makna menurunkan keberkahan, yakni dengan mengeluarkan bibit padi (pare bungsu) dari goah kemudian disimpan dekat sesajen dengan tujuan supaya bisa dapat berkah dari hadirnya Dewi Sri serta arwah-arwah para leluhur (karuhun). Acara ini dipimpin oleh Saehu dan Paibuan yang diikuti oleh tamu perempuan yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah tempat bibit padi yang tersedia di pajemuhan/goah.
       Bibit padi yang dikeluarkan itu adalah milik para tamu yang menyimpan (ngiringan) dalam tempat kecil seperti rantang atau ada juga tempat yang dinamakan pipiti dengan tujuan agar bibit padinya mendapat do’a dari semua yang hadir sehingga bisa mendapatkan berkah bibit padi yang bagus juga karena menurut kepercayaan mereka, Dewi Sri (Dewi Padi) dan para leluhur (karuhun) akan hadir. Laki-laki yang ikut dalam acara ini hanya Saehu saja yang membawa anggoan (pakaian) yang punya rumah (rurukan). Seperti terlihat pada gambar di bawah ini.

          2.3  Musik Ritual Tarawangsa
       Musik ritual tarawangsa, peningkatan konsentrasi menuju alam bawah sadar. Intisari tarawangsa merupakan salah satu jenis kesenian yang terdapat di Jawa Barat. Kesenian ini digunakan untuk prosesi ritual yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat pendukungnya. Kesenian tarawangsa dapat dikategorikan sebagai musik ritual, karena adanya ruang saklar yang dibentuk oleh keyakinan yang dianut masyarakat. Yang menarik untuk dikaji adalah ketika musik ini digunakan untuk iringan tari.

       Hadirin yang mengikuti prosesi ini dipersilahkan untuk menari, mereka mengalami trance (tak sadarkan diri). Sebetulnya secara tidak sadar mereka dipengaruhi oleh musik tarawangsa hingga menuju pada tingkat konsentrasi (pengosongan pikiran). Kemudian, bagaimana hubungan antara musik dengan makhluk ghaib? Apakah mereka sama hakikatnya dengan manusia memiliki perasaan, akal, dan kehendak?
          2.4  Larut Dalam Tarawangsa
       Suara gesekan tarawangsa melengking panjang berpadu dengan petikan dawai jentreng yang mengalun perlahan. Ensembel kedua alat musik itu mengawali pertunjukan Soul of Tarawangsa di Bale Tonggoh Selasar Sunaryo Art Space, belum lama ini. Sebelum itu, para sesepuh rombongan tarawangsa Pusaka Jati Rahayu, Rancakalong, Sumedang, lebih dulu membersihkan lokasi sekitar dengan cara memercikan air daun sirih, menyiapkan aneka sesaji, membakar kemenyan, serta memohon keselamatan kepada Sang Pencipta.
       Suasana kian syahdu ketika Dewi, seorang penari wanita dari STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Bandung, maju ke tengah-tengah panggung. Tanpa terganggu belaian selendang kain sutera yang tersampai di pundak, dia mulai membuat gerakan ritmis mengikuti alunan musik sebagai tanda penghormatan kepada Dewi Sri Pohaci.
       Sapuan asap kemenyan diantara temaram cahaya lampu minyak serasa melebur perasaan 30 lebih penonton yang duduk di pelataran bangunan. Perlahan si penari wanita muda mulai menyambangi setiap sisi panggung sambil terus menari sambil berputar-putar seperti orang yang dalam kondisi trance. Sebagian penonton merasa kesedihan atau kesenangan yang mereka rasakan saat itu, menjadi terasa semakin tegas dan menguat. Tapi tidak sedikit orang yang semula didera kesedihan jadi terhibur ketika menikmati seni tarawangsa dari Sumedang ini.
       Penggagas Soul of Tarawangsa, Ivana Stojakovic, yang kini berstatus mahasiswa S-2 di Universitas Seni Rupa Belgrade, Serbia, menempatkan 4 pemain egrang di setiap sisi panggung. Mereka mengenakan jubah putih yang berfungsi sebagai layar proyeksi video art dari empat buah infocus yang ditembakkan dari bawah atap.
       “Tiap kali nonton tarawangsa, suara alat musik tarawangsa selalu meninggalkan kesan mendalam. Alat musiknya memang mirip rebab. Mungkin karena teknik menggeseknya yang berbeda, tarawangsa terdengar lebih menyayat hati pendengarnya,” ungkap Maman Iskandar, seorang pelukis Bandung yang ikut menyaksikan Soul of Tarawangsa.
       Seni tarawangsa biasanya ditampilkan masyarakat setelah tiba masa panen padi. Sesaji yang disediakan bisa mencapai puluhan jenis. Sementara tarian di dalamnya termasuk sebagai tari pergaulan yang melibatkan para penonton untuk ikut serta. Seorang anggota rombongan dari tarawangsa Pusaka Jati Rahayu, Dayat menyampaikan seni religi ini bertujuan untuk mensyukuri kelimpahan hasil panen padi. Menurutnya di dalam seluruh rangkaian seni tarawangsa sangat banyak nilai-nilai luhur yang bisa diresapi.
       Tarawangsa mempunyai dua kawat, sebagai perlambang Sang Pencipta selalu menciptakan makhluk berpasang-pasangan. Sedangkan jentreng berdawai tujuh, yang maksudnya apapun pekerjaan manusia selalu dilalui dalam tujuh hari. Bila seluruh digabung jumlahnya, sembilan sama dengan jumlah wali penyebar agama Islam di tanah Jawa. “Ada juga beras yang kita butuhkan sebagai makanan pokok, telur sebagai simbol cita-cita, uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan masih banyak lagi. Semua itu pada akhirnya mengajak kita untuk tidak berlaku sombong dan harus selalu ikhlas menerima pemberian Sang Pencipta”, terang pria berkumis itu sambil tersenyum.
   
       BAB III  AKUSTIK, ALAT MUSIK, KONSTRUKSI, TARAWANGSA
3.1   Alat Musik Atau Waditra
       Etika sebuah tradisi mendapat perubahan, maka akan muncul reaksi pro dan kontra. Begitupun jika perubahan terjadi pada alat musik tradisional Sunda, Tarawangsa. Tarawangsa adalah alat musik gesek yang biasa dipakai untuk ritus ngaruat atau Tigaraksa yang berarti ungkapan rasa syukur kepada Tuhan pada saat panen tiba.
       Tarawangsa yang berasal dari Rancakalong (Sumedang), Banten, dan Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya Selatan), bentuk badan depannya berupa kotak memanjang serta bagian belakang cembung dengan terdapat lubang kecil. Lalu perubahan apa yang terjadi? Dadang Sudianda atau panggilan akrabnya Iyang, pemain sekaligus pembuat alat musik gesek membuat inovasi dengan mengubah tempat lubang kecil di bagian belakang menjadi di badan bagian depan, menipiskan cembung badan bagian belakang, dan membuat tambal penyangga senar di bagian depan.
       Iyang tentu mempunyai alasan atas perubahan letak dan bentuk tarawangsa itu. Ia menjelaskan bahwa ada kesalahan konstruksi pada tarawangsa diantaranya sebagai alat gesek, konstruksi tarawangsa ternyata untuk alat petik, sehingga suara menjadi kecil. Kemudian suara yang muncul bukan suara asli yaitu akustik, sebab tidak ada ruang untuk pantulan suara. Sehingga tarawangsa memakai alat bantu mikrophone atau spull untuk mengeraskan suara.
       “Saya menyadari bahwa alat musik tradisional sunda konstruksi musiknya tidak sesuai dengan tata ruang. Itu ternyata karena orang sunda tidak tahu mengenal konstruksi musik petik atau gesek.” Agar tarawangsa mengeluarkan suara akustik sebenarnya, Iyang membuat lubang di depan sehingga suara tidak langsung terbuang karena akan masuk ke dalam dan keluar dengan cara dipantulkan. Oleh sebab itu, kayu bagian belakang terbuat dari kayu keras sonokeling, sedangkan bagian depan terbuat dari kayu lunak yakni kayu kembang. Lubang berbentuk kujang sebagai tanda khas Jawa Barat.
3.2  Aku, Mereka, Dan Musik Tarawangsa
       Musik berfungsi untuk menentramkan pikiran dari beban kemanusiaan (bersyariyat) dan musik dapat menghibur tabiat manusia. Ia merupakan stimulant untuk melihat rahasia Ketuhanan (Asrar Rabbani). Orang yang mendengarkan musik dengan hawa nafsunya, ia akan menjadi zindik. Orang yang mendengarkan musik dengan kekuatan akalnya, ia akan menjadi orang yang terpuji. Orang yang mendengarkan musik dengan hatinya, ia akan menjadi perenung (muraqib). Dan orang yang mendengarkan musik dengan jiwanya, maka ia akan menjadi benar-benar hidup. “(Ruzbahan Baaqli, Wali pelindung dari Syiraz, KH. Zainal Arifin Thoha, 2009:4).
       Kata lontaran awalan musik yang dituliskan saya sebagai pembuka dan awalan untuk menjadi kata sapaan yang aktual membuka wacana kritik seni, untuk membahas bagaimana musik bisa mempunyai peranan penting bagi pelaku musik maupun apresiator musik. Sebuah pengakuan yang kuat terhadap orang yang mengalami kejadian kehidupan dengan merasakan melalui perasaan lewat musik, kejadian tersebut akan dialami seniman yang berkecimpung dalam dunia kesenian.
       Yang saya alami melalui panca indra pendengaran, terbangun sebuah penghayatan perenungan jiwa saat mendengarkan musik Tarawangsa. Tarawangsa merupakan salah satu jenis kesenian rakyat yang ada di Jawa Barat. Istilah tarawangsa sendiri mempunyai dua pengertiandan dua pemaknaan dari seorang pupuhu dan ahli etnomusikolog.
1. Alat musik gesek yang memiliki dua dawai yang terbuat dari kawat baja atau besi.
2. Nama dari salah satu jenis musik tradisional Sunda.
3. Tatabeuhan Rakyat Wali Salapan / Narawangsa Kanu Maha Esa.
4. Tar dari bahasa Persia (tali/dawai), Wangsa dari bahasa Hindu/ bahasa kawi (kelompok).
       Tarawangsa lebih tua keberadaannya dari rebab, alat gesek yang lain. Naskah Kuna Sewaka Darma dari awal abad ke-18 telah menyebut nama tarawangsa sebagai nama alat musik. Rebab muncul di tanah Jawa setelah zaman Islam sekitar abad ke-15, 16, merupakan adaptasi dari alat gesek bangsa Arab yang dibawa oleh para penyebar Islam dari tanah Arab dan India.
     
       BAB IV  PENUTUP
4.1  Kesimpulan
       Kesenian tarawangsa hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, yaitu di daerah Rancakalong (Sumedang), Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya Selatan), Banjaran (Bandung), dan Kanekes (Banten Selatan). Tarawangsa atau jentreng merupakan perpaduan antara rebab dan kecapi yang dimainkan secara bersamaan, dua buah senar pada rebab mengandung makna bahwa Tuhan menciptakan makhluknya selalu berpasang-pasangan, ada siang ada malam, lelaki dan perempuan, ada baik daan buruk, dan ada umur pendek juga umur panjang, namun itu semua adalah kekuasaan Tuhan. Sedangkan kecapi mempunyai tujuh senar, yang berarti bahwa apapun pekerjaan manusia dilalui dalam tujuh hari. Jika seluruhnya digabungkan jumlahnya sembilan, sama dengan jumlah Wali penyebar agama Islam di tanah Jawa.
       Seni tarawangsa atau jentreng adalah kesenian yang tumbuh dari pola kehidupan bertani masyarakat Rancakalong, Kabupaten Sumedang. Seni tarawangsa adalah upacara ritual yang berhubungan dengan magis religius untuk menghormati Dewi Sri Pohaci, sebagai tanda syukur atas keberhasilan panen yang melimpah.
       Naskah Kuna Sewaka Darma dari awal abad ke-18 telah menyebutkan nama tarawangsa sebagai nama alat musik. Keberadaannya lebih tua daripada rebab, alat gesek yang lain. Rebab muncul di tanah Jawa setelah zaman Islam sekitar abad ke-15, 16, merupakan adaptasi dari alat gesek bangsa Arab yang dibawa oleh para penyebar agama Islam dari tanah Arab dan India.
       Khusus di daerah Rancakalong (Sumedang), masyarakatnya yang berpenduduk muslim ini mempunyai rumah adat dan seni tradisional tarawangsa yang tetap terjaga secara turun temurun di Dusun Cijere, Desa Nagarawangi.
4.2  Saran
       Karya tulis ini disusun hanya secara global saja atau secara garis besarnya saja. Dan kami sebagai penyusun menyadari akan masih banyaknya kekurangan ataupun kesalahan-kesalahan dari hasil penulisan ini. Dengan demikian, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari rekan-rekan atau pembaca khususnya demi penyempurnaan karya tulis selanjutnya. Sekian dan terima kasih !!

DAFTAR PUSTAKA
Sumber :

Dokumen / Gambar-gambar: